Rabu, 11 Januari 2012

IBUKU SEORANG PENGAMEN

Hari ini jam pelajaran bahasa Indonesia diisi dengan kegiatan bercerita di depan kelas. Bu Inaya, Guru kelas kami sudah menentukan tema ceritanya yaitu : Ibu.
Kami harus bercerita tentang Ibu, dan Bu Inaya sudah berjanji akan memberikan hadiah kejutan untuk cerita terbaik. Beliau memberi waktu setengah jam untuk bersiap siap maju ke depan kelas.
Kami jadi ribut sendiri, semuanya sibuk membuat cerita yang bagus-bagus tentang Ibunya masing-masing.
Sementara aku hanya bisa terdiam. Aku bingung dan ragu untuk bercerita tentang ibu. Aku tidak bisa bercerita tentang ibuku, karena aku malu. Aku tak mau teman-teman mengejekku. Karena Ibuku adalah seorang pengamen jalanan.
Ya, ibuku hanyalah seorang pengamen jalanan. Menurut mu apa yang bisa diceritakan dari seorang pengamen jalanan seperti Ibuku? Aku tak sanggup bercerita tentangnya, membayangkan wajah ibuku saja kadang aku sudah bersedih.
Aku tak bisa bercerita tentang Ibuku…

Setengah jam itu cepat sekali berlalu. Kini saatnya kami harus bercerita di depan kelas. Bu Ina sudah mengacak nomor absen kami seperti membuat nomor arisan, mengundinya, dan aku mendapatkan giliran nomor 3.
Ya Tuhan…Apa yang harus ku lakukan…
Yang dapat giliran pertama adalah Aldo. Ia bercerita tentang ibunya yang sangat baik dan menyayanginya. Ibunya yang selalu mengerti keinginannya dan memberikan yang terbaik untuknya.
“pokoknya Bundaku itu…is the best deh !!” kata Aldo menutup ceritanya. Tentu saja ia mendapatkan tepuk tangan yang amat meriah dari teman-teman.
Yang dapat giliran kedua adalah Tahara, ia bercerita tentang ibunya yang pandai memasak dan jago membuat kue. Setiap hari libur, Tahara dan Ibunya selalu membuat kue bersama. Tahara sangat sayang dan bangga pada ibunya itu.
Kini tiba juga giliranku. Jantungku berdegup kencang. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Haruskan aku bercerita yang sebenarnya tentang ibuku?
“Adi, ayo ceritakan tentang Ibumu, kamu kan pandai bercerita ?”. kata bu Inaya menegurku yang hanya bisa diam di depan kelas. Sungguh aku tak sanggup, aku yakin semua teman akan menertawakanku. Tapi aku tetap harus bercerita…
Ku tarik nafas panjang, lalu aku mulai bercerita :
“Ibuku hanyalah seorang pengamen jalanan…” Aku melihat semua orang menatapku heran, mereka hanya terdiam.
“Ayo lanjutkan Adi!” Pinta Bu Ina, beliau tampak menyukai ceritaku.
“Ibuku itu adalah pahlawanku, dia adalah orang yang paling ku cintai di dunia ini. Setiap hari dia mengamen di jalanan tak peduli panas maupun hujan untuk mencari uang. Jika aku pulang sekolah, Ibuku tak pernah ada di rumah. Aku tahu ibuku sedang berjuang di luar sana untukku. Dia sangat kuat. Ibuku mencari nafkah sendirian sejak bapakku meninggal. Ibuku itu adalah segalanya di hidupku !”.
Aku mengakhiri ceritaku, wajah teman-teman tampak sedih. Bahkan Airin, temanku yang paling cengeng sudah menangis di bangkunya. Sementara Bu Ina tersenyum padaku.
Aku lega sekali, cerita tentang ibuku itu ternyata di terima. Mereka tidak menertawakanku, tetapi malah memberiku tepuk tangan yang sangat meriah. Aku tersenyum, waktu itu wajah ibu terbayang di benakku. Beliau juga tersenyum…
Kemudian kelas itu menjadi ceria kembali, setelah teman-temanku bergantian bercerita tentang ibunya masing-masing.


***
Minggu pagi yang cerah, seperti biasa aku membantu ibu mengerjakan perkerjaan rumah, sebelum ibu berangkat mengamen. Waktu itu aku sedang menyapu halaman ketika tiba-tiba Bu Ina datang kerumahku. Beliau bersama Pak Bima suaminya. Mereka membawa sebuah bingkisan.
“selamat pagi Bu Ina, pak Bima?” sapaku pada mereka.
“pagi Adi, wah rajin sekali kamu !” kata Bu Ina membuatku sedikit malu
“iya begini kalau hari minggu Bu!” jawabku sebisanya.
“bisakah kami bertemu dengan Ibumu Adi?” tanya Bu Ina.
“Bisa Bu, mari silahkan duduk ”.
Aku mempersilahkan Bu Ina dan Pak Bima duduk di ruang tamu rumahku yang sederhana. Lalu aku memanggil ibuku yang sedang memasak di dapur.
Ibuku pun datang menemui mereka. Aku duduk di samping ibuku, lalu mereka menerangkan tujuan datang kerumah kami.
Bu Ina datang ke rumahku untuk menepati janjinya di hari yang lalu. Yaitu tentang hadiah untuk cerita terbaik di depan kelas. Cerita tentang Ibu.
Aku dan Ibuku senang sekali mendengarnya, ternyata ceritaku itu menjadi yang terbaik di kelas. Bu Ina datang ke rumahku untuk mengantarkan hadiahnya.
Bu Ina membuka bingkisan yang dibawanya tadi, isinya adalah sebuah Gitar akustik dan seperangkat perlengkapan sekolah.
“Ini untuk Ibu !”. kata Bu Inaya sambil menyerahkan Gitar itu pada Ibuku. Ibuku tampak senang sekaligus bingung.
“Ini untuk kamu Adi, belajar yang rajin ya?”. Bu Inaya menyerahkan bingkisan kedua itu untukku. Akhirnya aku punya buku, tas dan alat tulis baru, lalu ada juga sebuah lembaran formulir untuk beasiswa sekolah. Wah..senangnya hatiku.
Bu Inaya lalu menjelaskan pada Ibuku tentang Cerita di depan kelas itu. Bu Ina mengucapkan salut pada usaha keras Ibuku untuk menyekolahkan aku, makanya beliau berinisiatif untuk membantu kami.
“saya harap dengan gitar yang baru ini, Ibu semakin bersemangat untuk terus mencari nafkah dan menyekolahkan Adi !” kata Bu Ina pada Ibuku.
Kami tersenyum bersama, aku bisa melihat wajah ibu tampak bahagia. Ia tersenyum sambil memandangku dengan bangga. Ahh, aku baru sadar lama sekali aku tak melihat senyum Ibuku yang seperti itu…
Mulai saat itu aku berjanji akan terus membuat ibuku tersenyum…karena senyum ibuku itu sangat berarti untukku…


Sekian.

Pare, 11 januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar