Selasa, 18 Agustus 2009

cerpen anak


KASUS BESAR

Anak laki-laki itu duduk menyendiri di taman sekolah yang sepi, menghindari keramaian oleh sekumpulan anak yang mengobrol asyik tentang game terbaru PS portable. Bahkan terus terdiam dalam pesta ulang tahun sekolah dan perayaan kemenangan tim sepak bola dalam pertandingan antar sekolah kemarin.
Anak itu, Doni. Wajahnya tampak murung, matanya sayu menandakan ia tak tidur selama beberapa hari. Akhir-akhir ini ia jadi suka menyendiri, padahal sebelumnya ia adalah anak yang periang. Teman-temannya heran bukan kepalang, begitu juga aku. Jika sebelumnya ia suka bercanda dan bermain bola denganku, sekarang ia lebih senang menyendiri di taman sekolah yang sepi.
Suatu hari aku mencoba menghiburnya, kubawakan ice cream pisang favoritnya dan mencoba mengajaknya bicara. Namun ia lebih banyak diam, bahkan membiarkan ice cream di tangannya habis karena melumer. Ia baru mau bercerita ketika bel masuk kelas hampir berbunyi, dan itu tak memberiku banyak waktu untuk berbicara lagi. Agak terpaksa aku mengajaknya masuk kelas. Entah kenapa setelah itu aku semakin penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi pada Doni ?.
****
Keesokan harinya, aku tak membuang waktu lagi untuk mengajaknya bicara. Rasanya aku semakin penasaran, apalagi hari itu kutemukan Doni menangis sendirian di taman. Agak ragu aku mendekat, dia segera menghapus airmatanya agar aku tak melihatnya. Dengan berbagai cara, akhirnya aku bisa membuatnya berbicara, meskipun dengan enggan, Doni mulai bercerita padaku :
“aku sedih Gar, Bapakku tak pulang….sudah tiga bulan ini !”
“lho., bukannya beliau memang sedang bekerja ?”. tanyaku penasaran
“tidak, aku tak percaya…Ibu memang bilang bahwa Bapakku dipindahkan.”
“nah…kenapa musti sedih ?”. Tanyaku lagi.
“tiga bulan sudah terlalu lama, seharusnya beliau sudah pulang.”
“mungkin sibuk ?”
“aku kenal bapakku, sesibuk apapun beliau selalu menyempatkan untuk pulang, sebulan sekali paling lama. Beliau juga pernah bilang bahwa sibuk kerja bukan alasan untuk melupakan keluarga!”.
Aku terdiam, kalimat yang akhir itu diucapkan dengan tegas meskipun dengan nada sedih. Ini mengingatkanku akan keadaanku sendiri ; betapa Ayahku jarang pulang karena sering ditugaskan keluar kota. Ayahku terlalu sibuk, bahkan untuk mengajakku camping atau bermain bola di hari libur ; kegiatan menyenangkan yang dilakukan anak-anak lain bersama Ayahnya di saat liburan itu hanya menjadi angan bagiku. Diam –diam aku iri pada Doni, ia lebih beruntung dari pada aku.
“kau harus sabar Don !.” nasihatku padanya selain kutujukan pada diriku sendiri.
“bukankah kau bisa berdo’a, agar beliau cepat pulang”. Usulku menambahkan.
“ah…ya!” Doni memandangku.
“nah..jangan biarkan kesedihan membuatmu melupakan-NYA Don, itu kata Ayahku!”.
Doni berterima kasih, aku tahu dari nada suaranya yang berubah, ia jauh lebih ceria daripada tadi.
****
Setelah itu Doni tak lagi tampak menyendiri. Ia bahkan jauh lebih ceria dan mau bergabung dengan teman yang lain. Aku ikut senang ketika Doni bilang bahwa Bapaknya telah memberi kabar melalui telefon. Doni tampak gembira, ya, bukankah ia tahu bahwa Bapaknya baik-baik saja.
Namun keadaan ini tak berlangsung lama, sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi pada Doni. Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba ia marah padaku. Aku mencoba menenangkannya, tapi ia salah mengerti. Doni menjadi kalut, dan aku sudah hendak mengajaknya bicara ketika tinjunya mendarat mulus di perutku. Aku terjungkal, perutku mual.
“aghh..!” aku terpaksa merintih, ketika kemudian Doni menghamburkan kata-kata dalam nada yang sangat marah:
“Hehh…kupikir kau teman baikku, ternyata selama ini kau menipuku !”
“Apa maksudmu …Don?” ku tahan rasa sakit, bekas luka di siku dan lututku memerah, beradu dengan paffing taman yang kasar waktu terjatuh tadi.
“selama ini kau menipuku, kau menghiburku agar aku memaafkanmu jika nanti aku tahu bahwa….”. Nafasnya tersengal-sengal.
“Bahwa apa ?”teriakku jengkel.
“Bahwa Ayahmu menangkap Bapakku. Rianto Rachmad, bukankan itu nama Ayahmu ?”. Doni bertanya menjerit.
“Betul memangnya kenapa ?” aku bertambah jengkel.
“kutemukan nama dan tanda tangannya dalam surat penangkapan Bapakku, ia adalah Kepala Kepolisian. Ya kan ?”. nada suaranya meninggi dan tubuhnya bergetar-getar.
“iya betul, tapi aku tak …” Belum sempat kuteruskan kalimat ini, tinju Doni hampir mengenai wajahku tapi aku masih sempat menghindar. Seketika itu beberapa guru dan siswa datang melerai kami, di tengah keriuhan mereka aku baru yakin bahwa kami berdua langung dibawa ke ruang Kepala Sekolah.
Aku masih tak habis fikir kenapa Doni jadi berubah begitu, apa yang dimaksudkannya dengan ‘surat penangkapan?’, apa yang terjadi sebenarnya ?, apa hubungan ayahku dengan bapaknya Doni ?. Segala bentuk pertanyaan begitu memenuhi benakku,. Ruang Kepala Sekolah yang megah justru terasa mengurungku. Sorotan tajam mata Kepala Sekolah seakan mengusik kegusaran dalam hatiku. Semuanya tetap begitu, sampai akhirnya Ibuku datang ke sekolah diikuti Ibu Doni.
Melihat aku kesakitan Ibuku langsung memelukku. Sejenak kurasa ia sangat khawatir; sikap yang jarang diperlihatkannya padaku sejak ia sibuk dengan pekerjaan kantornya.
“apa yang terjadi Nak?”
Aku diam begitu pun Doni, ia tampak ketakutan dan langsung memeluk Ibunya yang baru datang. Bapak Kepala Sekolah yang menjelaskan semuanya, beliau pula yang meminta janjiku untuk tidak berkelahi lagi. (Entah kenapa mereka mengira aku yang memulai perkelahian ini). Mungkin mereka berfikir bahwa anak periang seperti Doni tak mungkin mengajak berkelahi duluan. Padahal kan belum tentu.
****
Hari ini secara tiba-tiba Ibuku mengajakku bermain ke rumah Doni.
“Mumpung libur, sekalian bersilaturohmi dan meminta maaf !”. kata Ibu

‘Hah…ternyata begitu, ngapain juga musti minta maaf ,orang aku nggak salah!’, batinku. Tapi akhirnya aku ikut.
Lima belas menit, kami sudah duduk di ruang tamu rumah keluarga Doni. Waktu aku datang Doni tampak tak acuh, hanya Ibunya yang menyambut kami dengan hangat.
“sebelumnya saya minta maaf, saya tak tahu bahwa Pak Rianto Rachmad itu suami Ibu, Ayah Tegar…!” kata Ibu Doni sambil mempersilahkan kami meminum teh yang telah dibawakannya sendiri dari dapur.
“Memang benar Bu, tapi apa hubungannya dengan keributan antara Tegar dan Doni ?” Tanya Ibuku.
“Sebenarnya secara tak sengaja Doni menemukan surat penahanan Bapaknya, di sana ada nama dan tanda tangan suami Ibu!”. Sebentar ia menoleh anaknya di luar rumah, seperti takut jika Doni mendengarnya.
“oleh karena itu …” kata-kata Ibuku terpotong.
“Doni tahu Bapaknya ditahan karena kasus Illegal loging, tapi ia tak bisa percaya dan melampiaskan kemarahannya pada Tegar, sebenarnya saya telah berupaya agar Doni tak tahu tentang masalah ini, tapi akhirnya…., semua itu semata karena Doni rindu akan Ayahnya !”. Ibu Doni bekata dengan nada yang begitu sedih.
****
Doni tampak marah dan tak nyaman berada satu mobil denganku, hari itu kami memutuskan menjenguk Bapak Doni di Rumah Tahanan.
Dari balik terali besi, Bapak Doni memandang anaknya. Ia tampak terkejut melihat kedatangan kami.
“maafkan Bapak Nak !” katanya lirih pada Doni.
“kenapa Pak ?” Tanya Doni tak kalah lirihnya. Ini adalah kali pertama ia menjenguk Bapaknya.
“Bapak memang bersalah, selama ini bapak menutupi semuanya!”.
“benarkah Bapak melakukan semua ini ?”. Doni menatap sedih.
“semua betul, dan Bapak patut dihukum..!”
“tapi….!!”. Doni menangjs.
“Bapak hanya ingin berpesan Nak, tolonglah..!”
“Iya.. Pak!”
“Kau harus jadi anak yang baik, kau harus sayang pada Ibumu, belajarlah yang rajin dan… jangan lagi kau berkelahi karena Bapak,…bapaklah yang salah”.

Aku terharu, begitu pula Ibuku. Betapa Bapak Doni mencintai dan tetap memperhatikan Anaknya meskipun tengah berada di dalam penjara. Keadaan ini memberi pelajaran padaku, betapa dekatnya hubungan anak dan Orang tua, sesuatu yang selama ini kurasakan pudar dalam keluargaku, semuanya karena Orangtuaku sibuk bekerja.
****
“Gar, maafkan aku, ya?” kata Doni
Aku hampir tak percaya Doni meminta maaf.
“aku yang salah, kita bisa jadi teman lagi kan ?”. Katanya lagi.
Aku masih termenung, Doni cepat sekali berubah.
“tentu saja, kita kan teman…tetap teman sampai kapanpun!”. Kataku mantap membuat Doni tersenyum.
Setiap kali sempat sejak Bapaknya dalam penahanan, Doni selalu mengunjunginya. Dia mengaku sangat senang, bahwa jeruji besi itu bukan memisahkan tetapi mendekatkan antara dia dan Bapaknya.…



Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar